Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Simalakama Pesantren Indonesia: Antara Dedikasi, Duka, dan Minimnya Dukungan Negara

MATARAM, NTB - Gelombang duka kembali menyelimuti dunia pendidikan pesantren di Indonesia. Tragedi runtuhnya bangunan di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, telah menelan korban hingga 52 santri dari total 146 korban tertimbun (Detiknews, 2025). Musibah ini menjadi catatan kelam terbaru dalam sejarah panjang perjalanan pesantren, lembaga pendidikan yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Namun di balik duka yang dalam, muncul keprihatinan besar atas minimnya perhatian negara terhadap sarana dan prasarana pesantren. Banyak pesantren masih harus berjuang dengan fasilitas seadanya — kamar mandi tidak layak, ruang belajar sempit, hingga asrama yang padat dan tidak memenuhi standar keselamatan. Kondisi tersebut sering kali menjadi akar munculnya berbagai peristiwa tragis, mulai dari kecelakaan fisik hingga kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

“Kondisi miskin sarana di banyak pesantren bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga soal keselamatan dan martabat manusia. Banyak pelaku kekerasan di pesantren lahir dari situasi yang tidak sehat dan tidak aman,” ungkap Haidir (2025), peneliti Lab. Santri.

Selain tantangan fasilitas, para pengasuh, pembina asrama, dan guru pesantren juga menghadapi tekanan berat tanpa dukungan memadai. Mereka bekerja dengan gaji minim, tanpa tunjangan fungsional, tanpa pelatihan berkelanjutan, dan tanpa perlindungan hukum yang memadai. Dalam banyak kasus, para pengasuh yang menjadi korban trauma akibat bencana di pesantren tidak mendapatkan pendampingan psikologis yang layak.

“Mereka ini pahlawan sunyi. Mengajar, mengasuh, menjaga anak-anak bangsa 24 jam penuh tanpa sertifikasi, tanpa supervisi, dan sering kali tanpa penghargaan. Mereka butuh kehadiran negara yang nyata,” tegas perwakilan Lab. Santri (Laboratorium Pesantren Inspirasi).

Meski diterpa stigma akibat berbagai isu — mulai dari perundungan hingga kekerasan seksual — pesantren tetap menjadi pilihan utama masyarakat. Berdasarkan hasil survei Lab. Santri, jumlah santri di Indonesia justru meningkat 15–31% sepanjang 2022–2024. Lonjakan ini menunjukkan bahwa pesantren masih dipercaya masyarakat sebagai lembaga pendidikan moral dan agama yang mampu melindungi generasi muda dari ancaman pergaulan bebas dan degradasi moral.

Namun ironisnya, lonjakan kepercayaan masyarakat tidak diikuti oleh peningkatan dukungan negara. Banyak pesantren masih harus membangun ruang belajar, asrama, dan kamar mandi hanya dari iuran santri atau donasi masyarakat. Akibatnya, muncul lingkungan belajar yang padat, panas, dan tidak sehat, yang berpotensi memicu stres, perundungan, bahkan kematian.

“Sudah saatnya negara hadir bukan hanya dalam bentuk regulasi, tapi juga dengan aksi nyata. Pesantren tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian dengan kata ‘ikhlas dan tawakkal’. Mereka butuh fasilitas yang manusiawi dan pembinaan yang berkelanjutan,” lanjut pernyataan resmi Lab. Santri.

Lab. Santri juga mengingatkan bahwa pesantren memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas sosial dan moral bangsa. Tidak jarang, ketika bangsa dilanda konflik atau krisis sosial, suara ulama dan kiai-lah yang mampu menenangkan situasi. Karena itu, memperkuat pesantren berarti memperkuat fondasi moral Indonesia.

Tentang Lab. Santri (Laboratorium Pesantren Inspirasi)

Lab. Santri adalah gerakan psikososial yang fokus pada isu-isu santri dan pesantren masa kini. Lembaga ini aktif dalam pendampingan peningkatan kompetensi pembina asrama, supervisi pengasuhan, serta pengembangan organisasi sekolah berasrama dan pesantren.

📞 Kontak Layanan dan Kolaborasi: 0878-2238-1040

Catatan Redaksi: Tulisan ini dipersembahkan sebagai bentuk empati dan refleksi atas berbagai musibah yang menimpa pesantren Indonesia. Semoga tragedi Al-Khoziny menjadi titik balik bagi kebangkitan pesantren yang lebih tangguh, aman, dan bermartabat.

Posting Komentar untuk "Simalakama Pesantren Indonesia: Antara Dedikasi, Duka, dan Minimnya Dukungan Negara"